Apa Bahaya Bakteri Resisten Antibiotik? [harvard university]

Apa Bahaya Bakteri Resisten Antibiotik?

PinkKorset.com, Jakarta – Bakteri yang kebal antibiotik ternyata lebih membahayakan kesehatan ketimbang bakteri biasa.

Ketika bakteri tidak lagi dapat dibasmi antibiotik (AB) maka menghasilkan golongan bakteri baru yakni superbugs. Perkembangan superbugs tidak bisa dikendalikan dengan AB sebelumnya.

Bakteri resisten AB ini menyebabkan masalah lebih serius. Konsekuensi antibiotik yang tidak ampuh lagi menimbulkan sakit lebih berat dan lama, risiko keracunan serta kematian lebih tinggi.

Konsekuensi adanya superbugs pada sebuah komunitas menyebabkan AB tidak bekerja, bahkan pada orang yang pertama kali minum AB.

Masalah ini juga menimbulkan infeksi bakteri yang mengakibatkan sepertiga kematian anak di dunia. Pneumonia menjadi penyebab 1,3 juta anak meninggal di dunia pada 2011. Sementara satu anak meninggal tiap lima menit akibat AB tidak efektif menangani bakteri resisten.

Biaya kesehatan dan ekonomi akibat resisten AB terbilang sangat besar. IMS Institute for Healthcare Informatics (2012) menemukan 25.000 pasien di Eropa meninggal dunia per tahun akibat resisten berbagai obat. Kondisi ini menyebabkan kenaikan biaya kesehatan dan penurunan produktivitas dengan nilai lebih dari €1,5 miliar per tahun untuk biaya sosial serta lebih dari 2,5 juta per hari pasien menjalankan rawat inap.

Kemudian di AS ditemukan lebih dari 2 juta kasus superbugs per tahun dengan 23.000 kematian. lebih dari $35 miliar per tahun habis untuk biaya sosial dan lebih dari 8 juta tambahan hari rawat inap.

Pendiri Yayasan Orangtua Peduli dr. Purnamawati Sujud, SpAK, MMPed menjelaskan, merebaknya restistensi AB tidak hanya dipicu konsumsi AB secara langsung tetapi juga AB pada bahan makanan produk hewan ternak.

“Sebagian besar pangan kita potensial mengandung antibiotik. Hal ini menyebabkan maraknya superbugs,” ucapnya dalam materi presentasi Pekan Kesadaran Antibiotik di Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Kandungan AB pada daging hewan ternak disebabkan tambahan AB pada asupan hewan tersebut. Penelitian Iniansredef (1999) menemukan, daging sapi, hati sapi dan hati ayam mengandung AB paling tinggi ketimbang susu dan daging ayam di Jawa, Bali dan Lampung.

Sementara Center for Disease Control and Prevention merilis penemuan AB pada ternak di dunia mencapai 63.151 ton pada 2015 dan diprediksi meningkat 67% pada 2030.

“Bahkan hanya 43% di Eropa yang mengetahui AB tidak bisa membunuh virus,” sambungnya.

Dr. Purnawati menambahkan, AB hanya digunakan untuk penyakit infeksi akibat bakteri seperti infeksi saluran kemih, strep throat, bisul (abses), canggren, beberapa pneumonia, OMA, sinusitis, demam tifoid dan tuberkulosis.

“Penyakit akibat virus seperti common colds dan diare akut (bukan diare berdarah) tidak boleh mengonsumsi AB,” tutupnya.