Jennifer Lawrence

Saya tak mau kelaparan demi sebuah peran. Saya tak ingin para gadis berpikir, "Oh saya ingin seperti Katniss (peran Jennifer di Hunger Games) jadi tak perlu makan malam. Saya ingin terlihat fit dan kuat, bukan kurus dan kurang makan.

Pendobrak Kepalsuan Hollywood

Penikmat film pertama mengenal Jennifer Lawrence ketika ia hadir di ajang penghargaan Piala Oscar pada 2011 lalu. Sosok aktris muda ini terlihat tak begitu percaya diri tapi sikapnya anggun. Ia berada di tempat itu karena menjadi nomine untuk kategori prestisius, Best Actress, lewat film Winter’s Bone.

Gaun Calvin Klein merah yang ia kenakan panjangnya menyentuh lantai merupakan pilihan yang pas, sederhana tapi berusaha menyampaikan sebuah pesan. Tidak neko-neko, tapi siap untuk ampil di ajang sekelas Piala Oscar.

jennifer-lawrence

Meski bukan sebuah film komersial, Winter’s Bone cukup bergigi. Kisahnya sepenuhnya fokus pada Ree, tokoh ‘gelap’ yang diperankan Jennifer. Tak sampai sebulan setelah Hollywood menerimanya sebagai pendatang baru, ia mengantongi peran Katniss Everdeen di Hunger Games. Dan inilah momen ketika ia menjadi aktris kelas dunia.

Di titik inilah aktris kelahiran 15 Agustus 1990 ini mulai mengubah persepsi Hollywood, masyarakat penikmat film, hingga media mengenai aktris muda. Bahwa kita boleh saja menjadi penggemar seorang aktris karena ia benar-benar layak dijadikan role model. Tak percaya?

Tanyakan pada semua penggemar Hollywood dan insan perfilman Amerika ini, siapa yang tak kenal dengan istilah palsu. Anda yang suka majalah atau tabloid gosip juga pasti paham mengenai dinamika industri ini. Jujur saja, mereka memang menghibur. Inilah wajah sebuah industri yang menjual image seseorang sebagai komoditas utamanya.

Saat celah hiburan itu terbuka, kita melihat para idola sebenarnya. Seberapa ‘manusia’ mereka sebenarnya, mengingat kehidupan di sekelilingnya sebagian besar buatan manusia lain. Tapi tidak dengan Jennifer. Ia muncul sebagai sosok yang perlu dilindungi. Media belum menemukan sisi real dirinya, tapi Jennifer sudah menunjukkannya sendiri.

Mulai dari menginjak gaunnya sendiri saat hendak naik panggung, tak malu-malu membuat wajah aneh saat diwawancarai, mengakui kebiasaan-kebiasaan buruknya, hingga meminta dipesankan McDonald’s. Jennifer yang kita lihat adalah Jennifer sebenarnya. Jika ini caranya ‘menjual’ diri, lalu apa salahnya?

Setiap Jennifer muncul di layar kaca, entah dalam sebuah acara atau wawancara, hanya ada tiga reaksi yang muncul. Kita benar-benar menyukainya, sangat mudah menyukainya, dan masyarakat memang menyukainya. Sejujurnya, Jennifer membuat kita merasa lebih baik. Sejujurnya, lebih baik ketimbang saat kita melihat Kim Kardashian.

Jennifer mendobrak sebuah tabu soal aktris Hollywood, bahwa mereka harus bertubuh sempurna. Ia mengajak kita semua untuk mulai menghargai perempuan apa adanya. Tak harus selalu sempurna dan menyiksa diri.

“Kita melihat semua tubuh sempurna yang tak mungkin ditiru ini dan sayangnya, kita selalu membandingkan diri (dengan tubuh-tubuh itu),” katanya.

Dan ini efek Jennifer Lawrence. Bukan hanya ketika ia mendominasi karpet merah atau berbagai penggambaran lainnya dari media. Ini sesuatu yang berbeda, di saat gosip menjadi satu hal yang ikut melambungkan Hollywood. Sikap natural Jennifer berbanding lurus dengan peran-peran yang ia ambil.

Intinya, Jennifer adalah sosok berbakat yang lucu dan mengingatkan kita akan diri sendiri. Sebuah perasaan yang sungguh sehat mengingat ini datang dari bintang besar. Kita mulai melihat selebritas sebagai sosok yang mudah dicintai dan diidolakan. Tak lagi memaksakan seorang aktris harus selalu tampil seakan usia mereka tidak bertambah. Serta tidak menimbulkan bahwa kamera adalah sebuah kebohongan.

Jika kelak ada yang bertanya apa warisan Jennifer Lawrence, kita semua dengan mudah bisa mengungkapkan Jennifer Lawrence effect.