Jakarta, Bagaimana Kondisinya Sekarang? [straits]

Jakarta, Bagaimana Kondisinya Sekarang?

PinkKorset.com, Jakarta – Di usianya yang tak lagi muda, Jakarta sudah ‘mengenyam’ banyak rasa dan cerita. Seperti apa?

Potret ‘hutan kota’ dengan gedung pencakar langit, mal-mal dan sejumlah hunian mewah berpadu dengan kaum marjinal di tepian sungai dan kolong jembatan menjadi pemandangan yang biasa dilihat setiap hari.

Demikian juga kemacetan yang menghiasi wajah Jakarta tiada hentinya. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam maupun hari libur,  Jakarta selalu dipadati kendaraan.

Sementara commuter line alat transportasi umum yang seharusnya tak mengenal kata macet, kondisinya juga tak jauh lebih baik. Setidaknya bergitulah pengakuan Valin, pekerja swasta yang berkantor di Thamrin, Jakarta Pusat.

Menurutnya, transportasi ibukota saat ini ‘tak manusiawi’ dan jauh dari kata nyaman yang mengakibatkan stres bagi para pekerja. “Transportasi di Jakarta tuh penyebab utama kerja menjadi capek secara fisik dan psikis,” tuturnya kepada PinkKorset.com

Selain moda transportasi yang penuh sesak karena keterbatasan armada, para pengguna jalan juga dinilai banyak yang tidak disiplin. Seperti kebiasaan menurunkan penumpang di tengah jalan, atau masuk jalur TransJakarta.

”Kebiasaan jelek pengendara yang masuk jalur TransJakarta itu yang bikin ruwet jalanan Jakarta,”katanya.

Namun, bagi sebagian orang, transportasi umum dinilai cukup membantu mobilitas mereka sehari-hari. Misalkan saja bagi Sri, karyawan swasta di bilangan Palmerah, Jakarta Barat. Setiap hari, ia berangkat kerja dan kembali ke rumahnya di Pasar Minggu dengan menggunakan Kopaja dan TransJakarta.

“Sekarang sih transportasi umumnya lebih baik dari yang dulu karena, sudah ada TransJakarta dan Kopaja khusus yang bisa masuk ke jalur busway. Transportasi tersebut juga sudah terasa nyaman,” ucapnya.

Masalah kemacetan dan transportasi ini dirasa sangat krusial, karena secara tak langsung mengakibatkan bertambahnya biaya hidup para pekerja. Terutama karena terbentuknya kebiasaan baru seperti nongkrong di cafe, tempat makan atau mal sembari menunggu jalanan agak lengang.

“Banyak pekerja yang milih nongkrong dulu buat nungguin macet. Otomatis, living cost mereka jadi lebih tinggi,” ujarnya.

Sementara Lusi menyoroti masalah banjir di Jakarta yang dinilai menjadi ‘ancaman’ bagi kehidupan masyarakatnya. Terutama karena ia menjadi korbannya,” Saya tinggal di kawasan Bukit Duri, yang  tenggelam duluan kalau banjir. Hampir setiap tahun banjir, tapi yang paling parah ya Januari lalu, rumah saya sampai terendam,”katanya.

Meski diberondong banyak keluhan dan masalah, nyatanya, kota megapolitan ini tak pernah kehilangan daya tarik. Hal ini terbukti dari membludaknya pengunjung di beberapa tempat wisata seperti Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan dan Dunia Fantasi.

Bagaimanapun, baik Valin, Sri maupun Lusi berharap agar Jakarta di usianya yang bertambah matang, bisa ‘berbenah diri’ untuk mengatasi masalah kemacetan, banjir, dan kenyamanan transportasi.

Selanjutnya : Ketika Jakarta Bersalin Rupa