Mengintip Reklamasi di Pantai Utara Jakarta

PinkKorset.com, Jakarta – Indonesia akan segera mengikuti jejak Singapura dan Dubai yang membangun beragam fasilitas di atas lahan hasil menguruk laut (reklamasi).

Ya, Pemprov DKI Jakarta memiliki mega proyek, yang salah satunya mengisyaratkan pembangunan 17 pulau buatan di pantai utara Jakarta.

Reklamasi memang dinilai sebagai salah satu opsi mengatasi kepadatan kota Jakarta, mengingat minimnya lahan dan semakin terbatasnya ruang kota.

Tujuh pengembang besar pun berebut mendapat izin menggarap 17 pulau buatan dalam proyek reklamasi Pantai Jakarta. Mereka berkomitmen menggelontorkan investasi Rp 300 triliun.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta pekan lalu mengumumkan tujuh pengembang yang sudah menyatakan siap menggarap reklamasi 17 pulau buatan tersebut.

Sebut saja PT Pelindo, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jakarta Propertindo. Lalu PT Muara Wisesa Samudera (anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk.), PT Saladri Ekapasi dan PT Kapuk Naga Indah (anak usaha PT Agung Sedayu Group).

PT Pembangunan Jaya Ancol menyatakan siap memulai proyek itu, begitu izin keluar. Mereka bahkan berniat mengambil jatah tiga sampai empat pulau buatan sekaligus.

Demikian juga dengan Agung Podomoro Land Tbk (APLN), yang ingin membangun tiga pulau.

Meski masih menunggu izin pelaksanaan, mereka mengaku telah mengantongi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari Pemprov, serta berani memasarkan properti yang akan berdiri di proyek pulau buatan tersebut.

Sejak tahun lalu, pengembang besar ini mengumumkan komitmen merogoh Rp 25 triliun-Rp 50 triliun guna membangun pulau buatan seluas 160 ha yang dinamai sebagai Pluit City. Pulau ini nanti akan terhubung dengan superblok Green Bay Pluit.

Pluit City sendiri secara garis besar terbagi dalam empat peruntukan: hunian, komersial, resor, life style. Di dalamnya mencakup ruko dan villa sebanyak 1.200 unit, 15.000 unit apartemen dalam 20 menara, perkantoran, hotel, perumahan, pusat belanja, taman (central park)  seluas 8 ha, outdoordan indoor plaza 6 ha.

Reklamasi itu bagian dari rencana pembangunan water front city yang sudah diwacanakan cukup lama.   Jika tanpa kendala, proyek reklamasi ini akan memakan waktu cukup lama, sekitar 10 tahun. Waktu itu hanya untuk satu pulau mulai dari reklamasi hingga pembangunannya.

Meski 17 pulau buatan di Pantai Jakarta sepenuhnya dikerjakan dan dibiayai swasta, namun Pemrov meminta 5 persen dari total luas lahan, atau sekitar 250 ha. Lahan tersebut akan digunakan untuk pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

Selain reklamasi, pemprov DKI Jakarta juga akan membangun tanggul raksasa dan tahap akhir pembangunan Giant Sea Wall. Untuk tahap ini, pemerintah pusat, melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU), ikut berpartisipasi.

Penolakan dari pegiat lingkungan hidup

Kendati ada pengembang yang sudah mengantongi izin AMDAL, bukan berarti rencana reklamasi bebas gugatan dari pencinta lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan, reklamasi berpotensi merusak ekosistem dan hidrologi di pantai utara Jakarta. Karena dari total 32 kilometer panjang pantai utara hanya tersisa 3 kilometer untuk kawasan mangrove.

Padahal, mangrove justru berguna untuk mengatasi abrasi atau bahkan rob. Kalau laut diuruk, maka mangrove bakal hancur. Terlebih tanpa ada upaya penghutanan atau penanaman mangrove di sepanjang pantai utara.

Reklamasi dinilai hanya akan menimbulkan bencana ekologis, termasuk mempercepat intrusi air laut ke daratan.

Selain itu, penimbunan laut dengan jutaan kubik pasir juga akan mengubah pola sedimentasi sungai akibat perubahan garis pantai dan hidrologi. Potensi intensitas kegiatan di lokasi reklamasi, seperti kecepatan arus, akan meningkatkan tekanan terhadap ekosistem di sekitarnya.

Yang tidak kalah penting adalah tergerusnya mata pencaharian dan kultur melaut nelayan yang telah turun temurun menyandarkan hidupnya pada aktivitas melaut.