Mengapa Batik Raja Jawa ’Turun Kelas’? [wiki]

Mengapa Batik Raja Jawa ’Turun Kelas’?

PinkKorset.com, Yogyakarta – Kain batik penuh makna yang dulunya hanya bisa digunakan oleh raja dan bangsawan, kini banyak dipakai masyarakat biasa. Mengapa?

Larangan atau kain batik bermotif simbolis awalnya hanya boleh digunakan keluarga istana dan kalangan bangsawan. Jenis kain ini bervariasi. Mulai dari parang rusak yang digunakan para raja, truntum untuk pernikahan, dan lainnya.

Kain batik ini pun dulunya hanya berupa batik tulis dan selalu dibuat perempuan (nyanthing), dengan menggunakan pewarna alam, sehingga kusam dan dalam jangka waktu setahun sudah pudar.

Kini, kain batik tersebut sudah ’turun kelas’ dan bisa digunkana rakyat biasa. Mengapa?

Ketua Program Studi Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta I Ketut Sunarya mengatakan, penjajahan Belanda di Indonesia mengubah strata batik di tanah Jawa.

Mereka mengubah kain batik bermotif simbolis menjadi selembar kain yang diproduksi massal untuk kepentingan industri.

”Orang asinglah yang memulai memakai kain batik bermotif khusus, seperti parang rusak, truntum, dan dibuat menjadi pakaian. Kalau orang Jawa justru takut dan segan pada awalnya,” ujarnya di Yogyakarta, Selasa (27/9/2016).

Ketut menuturkan, untuk menjaga keawetan kain, Belanda juga mengganti pewarna alam dengan produk bernama naptol yang digunakan sebagai pewarna batik.

Demi memenuhi tingginya permintaan batik di masyarakat, pembuatan batik juga bergeser dari semula menggunakan canthing menjadi teknik cap.

Di zaman tersebut, batik lebih bebas dan pengaruh keraton berangsur pudar. “Industri dalam segi budaya merusak, tetapi bisa mendongkrak perekonomian masyarakat,” pungkasnya.

 

Sumber: Liputan6