White Wine Picu Kanker Kulit [netdoctor]

White Wine Picu Kanker Kulit

PinkKorset.com, Amerika Serikat – Konsumsi anggur putih (white wine) ternyata dapat meningkatkan risiko kanker kulit.

Associate Professor Warren Alpert Medical School, Brown University, Providence, Rhode Island, AS sekaligus peneliti, Eunyoung Cho menemukan, anggur putih (white wine) menjadi satu-satunya minuman beralkohol yang terkait dengan peningkatan risiko melanoma.

Hal ini cukup mengejutkan mengingat risiko kanker kulit lebih sering dipicu radiasi ultraviolet matahari.

Sementara alkohol justru banyak dikaitkan dengan peningkatan masalah kesehatan pencernaan dan organ dalam. Misalnya saja 3,6% kasus kanker di dunia berhubungan dengan konsumsi alkohol, seperti kanker saluran pencernaan, hati, pankreas, usus besar, rektum dan payudara.

Penelitian sebelumnya menyimpulkan konsumsi alkohol menyebabkan terjadinya sel kanker (karsinogenesis). Alkohol etanol berubah menjadi asetaldehida setelah melalui proses metabolisme tubuh. Zat tersebut dapat merusak rangkaian DNA dan mencegah perbaikan DNA.

Cho menambahkan, tidak mengetahui secara pasti alasan keterkaitan alkohol pada white wine dengan peningkatan risiko melanoma.

“Tapi penelitian menunjukkan beberapa wine memiliki tingkat asetaldehida lebih tinggi ketimbang bir dan minuman alkohol lainnya (spirits),” ucapnya dilansir Boldsky, Jumat (2/12/2016).

Sementara itu, white wine dan red wine memiliki jumlah asetaldehida yang sama dengan kandungan antioksidan yang mampu mengimbangi risiko ini. Standar keamanan konsumsi alkohol per hari adalah 12,8 gram.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention ini menemukan, asupan alkohol apapun per cangkir per hari berkaitan dengan peningkatan risiko melanoma sebanyak 14%. Kemudian 13% peningkatan risiko melanoma terjadi bila meminum white wine per hari.

Namun, jenis minuman alkohol lain seperti bir, red wine dan minuman keras lainnnya tidak secara signifikan mempengaruhi munculnya melanoma.

Penelitian ini memanfaatkan data dari tiga studi prospective cohort yang diikuti 210.252 orang selama 18,3 tahun dengan menggunakan kuesioner frekuensi asupan makanan untuk menentukan konsumsi alkohol.