Gangguan Pendengaran di Indonesia Meningkat [tlife]

Gangguan Pendengaran di Indonesia Meningkat

PinkKorset.com, Jakarta – Tanpa disadari masalah gangguan pendengaran atau tuli melonjak di Indonesia karena berbagai faktor.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013), prevalensi gangguan pendengaran atau tuli meningkat selaras pertambahan umur. Prevalensi tuli pada umur 25-34 tahun (1%) dan melonjak ketika umur 55-64 tahun (5,7%), 65-74 tahun (17,1%) serta umur lebih dari 75 tahun (36,6%).

Masalah pendengaran ini juga terkait dengan latar belakang pendidikan. Prevalensi orang dengan tuli yang tidak sekolah sebesar 0,38% dan tidak tamat SD (0,12%). Sementara prevalensi tuli dengan tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi) hanya 0,04%.

Terdapat 9 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi tuli pada umur lebih dari 5 tahun melebih prevalensi nasional (2,6%) pada 2013, antara lain Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.

Sementara Survei Nasional 1994-1996 menunjukkan, morbiditas penyakit telinga 40,5 juta jiwa (18,5 %), prevalensi gangguan pendengaran 35,28 juta jiwa (16,8%) dan ketulian 840.000 jiwa (0,4%).

Kondisi ini selaras dengan masalah tuli di Asia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2012 menemukan, terdapat 360 juta (5,3%) penduduk tuli di dunia dengan proporsi dewasa 91% dan anak 9%. Jumlah tersebut didominasi di Asia mencapai 50%. Bahkan, Indonesia menempati peringkat empat dengan penduduk tuli setelah India, Myanmar dan Sri Lanka.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. H. Mohamad Subuh, MPPM menjelaskan, gangguan pendengaran sangat erat terkait dengan pola hidup, gaya hidup dan lingkungan. Hal ini diperparah dengan kebiasaan mendengarkan musik melalui earphone maupun headset yang meningkat.

“Paparan intensitas suara (desibel) yang besar dan berulang kali memengaruhi kesehatan telinga,” katanya saat jumpa pers Peringatan Hari Pendengaran Sedunia di Jakarta, Senin (20/3/2017).

Suara dengan kekuatan 85 sedibel (dB) atau lebih dalam jangka waktu lama dan berulang-ulang dapat merusak reseptor pada organ dalam telinga (corti). Beberapa kondisi dengan intensitas suara tersebut yakni bandara, pelabuhan laut, pabrik, bengkel, musik keras dengan volume tinggi, konser, musik pada angkutan umum hingga ledakan bom.

Menurut WHO seseorang dikatakan tuli jika tidak bisa mendengar suara lebih dari 40dB pada dewasa dan lebih dari 30 dB pada anak.

“Oleh karena itu, perlu penanggulangan masalah gangguan pendengaran dan ketulian sejak dini agar teruwujud generasi muda berkualitas bebas gangguan pendengaran,” pungkasnya.