SE BPOM Terkait Susu Kental Manis Membingungkan [google]

SE BPOM Terkait Susu Kental Manis Membingungkan

PinkKorset.com, Jakarta – Pasalnya kebijakan mengenai Susu Kental Manis (SKM) tersebut tidak selaras dengan peraturan BPOM lainnya.

Kebijakan BPOM tentang Susu Kental Manis (SKM) diatur melalui SE HK.06.5.51.511.05.18.2000 tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya (Kategori Pangan 01.3) menjadi polemik. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut bertentangan dengan Perka BPOM Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan.

Peneliti LBH Jakarta Pratiwi Febry menuturkan, Perka BPOM tahun 2016 mengkategorikan SKM sebagai susu yang masuk pada bagian dari analognya. Sedangkan dalam surat edaran (SE) BPOM tahun 2018 menjelaskan SKM tidak setara dengan susu jenis lainnya seperti susu sapi, susu pasteurisasi, susu sterilisasi dan susu formula.

“Ketidaksinkronan tersebut seolah menunjukan inkonsistensi BPOM sebagai badan yang menangani masalah pangan nasional,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (15/10/2018).

Agar tidak menjadi boomerang, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berharap Kementerian Kesehatan menegur BPOM untuk segera mengevaluasi pengkategorian SKM agar tak membingungkan masyarakat.

Sementara Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes dr. Eni Gustina, MPH memandang Perka BPOM tahun 2016 SKM masuk dalam kategori susu karena memiliki protein 7 persen. Meski demikian, konsumsi SKM secara rutin sebagai minuman, seperti anjuran pada label kemasan sejumlah merek SKM tidak dibenarkan.

“Sebab, sebagian besar kandungan SKM adalah gula,” sambungnya.

Dr. Eni menambahkan, masalah ini tercermin pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Pemberian ASI eksklusif di wilayah ini 60% diatas nasional. Tetapi setelah anak di atas enam bulan hampir seluruh ibu memberikan SKM.

“Mereka membeli SKM sachet-an kecil yang terjangkau,” katanya.

Ironisnya konsumsi SKM anak-anak di NTT berlangsung cukup lama. Tak heran jika wilayah ini menyandang kasus kekerdilan (stunting) tertinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 prevalensi stunting bayi berumur di bawah lima tahun NTT mencapai 40,3%.

Menurut dr. Eni banyak faktor penyebab konsumsi SKM di NTT. Misalnya saja faktor pendidikan karena 100 persen pendidikan ibu-ibu sebatas SD, bahkan banyak yang tidak tamat. Ada pula orangtua di NTT kurang mendapat informasi terkait SKM.