Tumpeng Dikeruk, Bukan Dipotong

PinkKorset.com, Jakarta – Tumpeng seringkali menjadi bagian dari perayaan tertentu seperti slametan, kelahiran anak, peresmian bangunan, dan banyak lagi. Namun, ungkapan ‘potong tumpeng’ ternyata kurang tepat. Tumpeng dikeruk, bukan dipotong.

Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam bidang gastronomi. Terdapat puluhan ribu resep boga dengan kekayaan budaya yang mengakat kuat di Indonesia. Salah satu tradisi lintas budaya di Tanah Air yang paling terkenal adalah tumpengan.

Olahan nasi yang disajikan dalam bentuk kerucut ini biasanya dibuat dalam dua jenis, nasi putih dan nasi kuning. Di sisi tumpeng disajikan berbagai macam lauk pendamping. Namun, tradisi memotong tumpeng yang selama ini terjadi dengan memotong bagian puncaknya dinilai sebagai kebiasaan keliru.

Nasi tumpeng sejatinya menyimpan filosofi yang mendalam, yakni lambang gunungan yang bersifat awal dan akhir. Ini mencerminkan manifestasi simbol sifat alam dan manusia, yang berawal dari Tuhan akan kembali lagi kepada Tuhan.

Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut menjulang ke atas. Bentuk ini menggambarkan tangan manusia merapat dan menyatu menyembah Tuhan. Tumpeng menyimpan harapan agar kesejahteraan ataupun kesuksesan semakin meningkat.

“Tumpeng sebagai hidangan yang menyimbolkan komunikasi spiritual masyarakat kepada Sang Pencipta. Jika dipotong seakan memotong hubungan kita dengan sang  pencipta,” Ujar Putri Habibie, Youth President Indonesia Gastronomy Association (IGA) dalam halal bihalal belum lama ini.

Putri memaparkan, bagian puncak tumpeng ditutup daun pisang melambangkan tempat bersemayam Sang Pencipta. Keruk tumpeng melambangkan rasa syukur kepada Tuhan sekaligus ajaran hidup kebersamaan dan kerukunan.

Selain simbolisme tersebut, juga ada tata cara sebelum menyantap tumpeng seperti berikut ini.

  • Tumpeng tidak dipotong melintang
  • Daun pisang di pucuk tidak dilepas
  • Tumpeng hanya boleh dikeruk sisi samping dari bawah
  • Orang pertama yang mengeruk tumpeng akan mengucapkan doa di dalam hati

Di jaman dulu, biasanya para sesepuh yang memimpin doa akan menjelaskan makna tumpeng sebelum dikeruk dan disantap. Kerukan nasi pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap penting, dicintai, atau dituakan.

Bagi para gastronom, seperti disampaikan oleh President Indonesian Gastronomy Association Ria Musiawan, tradisi menyantap tumpeng dan makanan lainnya memiliki fungsi sosial budaya yang berkembang sesuai kedaaan lingkungan, agama, adat kebiasaan, dan tingkat pendidikan.

“Makanan yang disajikan merupakan hasil dari adaptasi manusia terhadap lingkungan di sekitarnya. Sebagai produk budaya, makanan tak hanya dilihat secara fisik saat dihidangkan, namun juga dipelajari secara menyeluruh di setiap proses pembuatannya,” Ria menjelaskan.

Adapun IGA, lanjut Ria, adalah perkumpulan yang dibentuk dengan tujuan mengangkat, mengembangkan, melestarikan, dan mendekonstruksi seni memasak berbagai suku kepulauan nusantara serta etnik pendatang. Baik tradisional, akulturasi dan mimikri dari warisan yang ada, maupun modifikasi akibat localized global cuisine.