Plastik dan Pencemaran Lingkungan

PinkKorset.com – Plastik dituding sebagai biang pencemar lingkungan. Tapi benarkah materi ini seburuk yang digambarkan komunitas zero waste?

Memang sulit rasanya melepaskan diri dari plastik. Terutama setelah bertahun-tahun dimanjakan oleh kepraktisan dan murahnya harga kemasan plastik. Mulai dari membeli makan siang, belanja di supermarket hingga kemasan barang-barang yang kita beli, semuanya menggunakan plastik.

Sayangnya, sampah plastik yang bersifat anorganik ini sulit diurai, bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya untuk dapat terurai. Plastik yang kita gunakan karena alasan kepraktisan berubah menjadi polutan yang membahayakan lingkungan.

Kita telaah dari pabrik, dimana bahan mentah terbanyak pembuatan plastik adalah minyak dan gas alam. Pabrik plastik juga menggunakan bahan bakar fosil. Plastik yang non-bio dan berbahan dasar minyak ini memang tidak bisa diperbarui dan tidak sustainable untuk dipanen.

Padahal, seperti kita ketahui, pengeboran minyak menciptakan banyak masalah pada ekosistem darat dan laut, apalagi jika sampai tumpah dan mencemari lingkungan sekitarnya.

Satu lagi yang tak bisa diabaikan adalah jejak karbon (carbon footprint) kaca, yakni karbon dioksida, yang tercipta mulai dari plastik dibuat hingga dibuang. Pada 2015 saja, emisi plastik setara 1,8 miliar metrik ton CO2. Jumlah emisi ini pasti sudah berlipat ganda dalam 5 tahun.

Belum lagi hanya 8,5% plastik yang bisa didaur ulang. Jika menghitung sejak produksi skala besar yang dilakukan sejak 1950-an yang telah menghasilkan 8,5 miliar metrik ton plastik, tingkat daur ulang itu sangat kecil jika dibandingkan kaca. Ketika didaur ulang (recycle), plastik tidak sepenuhnya diurai alias hanya downcycle atau hanya diturunkan kualitasnya. Ini berarti, plastik takkan bisa lagi menjadi benda awalnya dan pada akhirnya akan menjadi sampah.

Plastik membutuhkan lebih dari 450 tahun untuk terurai di alam, seribu tahun jika dibuang ke tempat pembuangan sampah. Cukup ‘singkat’ jika dibandingkan kaca yang butuh satu juta tahun.

Tapi tak seperti kaca, plastik mengeluarkan bahan kimia beracun ke alam seiring berjalannya waktu. Bahan ini juga tidak benar-benar terurai, tapi menjadi microplastic yang mengotori air serta mengontaminasi ladang dan udara yang kita hirup.

Lebih jauh tentang plastik

Source: icel.or.id

Baca juga: Kaca, Benarkah Ramah Lingkungan?

Siklus Plastik

Produksi plastik biasanya dimulai dengan mengolah komponen minyak mentah atau gas alam, menjadi hydrocarbon monomer seperti ethylene dan propylene. Setelah itu, akan tercipta monomer selanjutnya seperti styrene, ethylene glycol, terephthalic acid, vinyl chloride, dan lainnya. Monomer ini kemudian diikat secara kimia dalam rangkaian yang disebut polymer. Kombinasi monomer yang berbeda akan menciptakan bermacam plastik dengan berbagai karakteristik dan properti.

Tujuh plastik yang paling banyak digunakan adalah Polyethylene Terephthalate (PETE), High Density Polyethylene (HDPE), Polyvinyl Chloride (PVC), Low Density Polythylene (LDPE), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS), dan plastik-plastik lain seperti nilon. Setiap jenis plastik memiliki fungsi masing-masing, ada beberapa yang lebih mudah didaur ulang ketimbang lainnya.

Anda tentu sadar, siklus hidup plastik sangat intens karbon. Mulai dari produksi hingga pembuangan, baik dibuang biasa, dibakar, didaur ulang, hingga proses kompos (untuk bio-plastik), semua prosesnya mengeluarkan karbon dioksida.

Periset Peter Gleick dan Heather Cooley pada 2007 memperkirakan energi yang dibutuhkan untuk membuat botol minuman adalah 32-54 barel minyak! Emisi gas rumah kaca (greenhouse gas) ini bahkan melebihi emisi satu juta mobil di jalanan. Luar biasa, bukan?

Pada 2015, emisi karbon dioksida dari plastik hampir mencapai 1,8 miliar metrik ton. Tak satupun periset yang menyatakan jumlah ini akan turun, bahkan memperkirakan permintaan plastik global akan naik hingga 22% pada 2022.

Wajib Anda ketahui bahwa kita seharusnya menurunkan emisi hingga 18%. Namun, dengan kecepatan saat ini, emisi dari plastik saja akan mencapai 17% dari total budget karbon global pada 2050.

Budget ini adalah perkiraan jumlah maksimal gas rumah kaca yang bisa dikeluarkan secara ‘aman’ tanpa berpotensi menaikkan suhu bumi sebanyak 1,5 derajat Celsius. Dengan kata lain, kita tak seharusnya meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Sejak revolusi industri dimulai, sampah plastik pun semakin berserakan baik di tempat pembuangan sampah maupun di alam kita. Bayangkan dampaknya terhadap emisi karbon.

Meningkatkan skala daur ulang plastik terdengar seperti solusi yang tepat, tapi sayangnya tidak mengakhiri masalahnya. Sebab, plastik hanya bisa didaur ulang beberapa kali. Secara teknis, setiap kali mengalami daur ulang maka kualitas plastik akan menurun sehingga tidak bisa kembali menjadi produk yang sama. Pada akhirnya, plastik tersebut akan berujung menjadi sampah.

Mengganti energi fosil dengan sumber yang bisa diperbarui tentu berdampak positif terhadap keseluruhan emisi gas rumah kaca. Tampaknya idealis jika kita berusaha menggunakan 100% energi terbarukan, namun upaya ini bisa disebut sukses jika emisi dari plastik bisa berkurang hingga 51%.