Pentingnya Literasi Menuju Net Zero Carbon

PinkKorset.com – Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman terbesar bagi umat manusia. Solidaritas, kemitraan, serta kolaborasi semua pihak pun menjadi kunci dalam menghadapinya.

Konferensi Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA 2021) yang baru saja digelar, membahas tentang pengelolaan dan strategi risiko iklim, dengan penekanan pada keuangan, sumber daya manusia dan transisi energi yang berkelanjutan.

Konferensi ini menekankan urgensi yang diperlukan untuk mengambil tindakan dan lebih praktis lagi kebutuhan akan ‘perangkat literasi keberlanjutan’, serupa program literasi keuangan yang telah membuat lebih dari 90% warga Malaysia memiliki rekening bank.

Di Indonesia sendiri, program-program literasi keuangan berhasil meningkatkan keuangan inklusif Indonesia secara signifikan dibandingkan 2018. Menurut catatan Kementerian Keuangan, kepemilikan rekening bank meningkat 6 percentage point menjadi 61,7 persen pada 2020, begitu juga penggunaan layanan keuangan yang meningkat menjadi 81,4 persen.

Berdasarkan komitmen global yang dibuat dalam COP26 baru-baru ini, LESA 2021 berhasil menghadirkan lebih dari 9.500 peserta dari 43 negara. Peserta mendapatkan berbagai perspektif dari para pembicara yang berasal dari Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin, dan Asia, tentang pentingnya pendekatan kolektif dan interconnected untuk memecahkan krisis iklim.

COP26 tahun ini menjadi bukti bahwa era ‘Mengapa kita butuh aksi iklim?’ telah berakhir. Sentimen yang digaungkan oleh para pembicara LESA 2021 adalah bahwa dekade inilah saatnya untuk mengambil tindakan yang menentukan dan kolektif. Setiap tahun, kita menghabiskan 1,75 kali jumlah sumber daya dunia ini. Kita sudah menumpuk utang yang besar kepada alam, dan ini akan mencapai batasnya, sementara alam tidak bisa memberikan ‘bailout’.

The fight against climate change | Wall Street International Magazine

LESA 2021 menjadi platform yang efektif untuk menggaungkan diskusi ini dan belajar langsung dari berbagai studi kasus perusahaan yang terdepan dalam mendorong perubahan menuju agenda keberlanjutan.

Mulai dari Vale yang mengimplementasikan roadmap menuju net zero carbon, hingga visi besar dari Esquel untuk mendirikan semacam manufacturing park modern yang berfungsi juga sebagai destinasi ekowisata pendidikan dan pemanfaatan teknologi pangan untuk menyediakan produk daging alternatif dalam skala besar, serta penciptaan supply chain minyak sawit yang berkelanjutan. Para pembicara dalam konferensi itu telah mendiskusikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri dan cara menghadapinya.

Dalam konferensi yang diselenggarakan Asia School of Business (ASB) ini, tema penting lain yang diangkat adalah mengenai kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan dan mempersiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi perubahan paradigma yang akan segera terjadi.

Meskipun usia Gen Z masih muda, mereka dipengaruhi “Efek Greta Thunberg”, yakni gagasan bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu kecil untuk membuat sebuah perbedaan. Perusahaan yang memiliki tanggung jawab lingkungan dan sosial akan menjadi perusahaan yang lebih disukai oleh kelompok yang baru ini, yaitu kelompok yang cenderung lebih loyal kepada perusahaan yang sejalan dengan value dan keyakinan mereka. Mengingat sebagian besar negara Asia dan negara berkembang saat ini diuntungkan oleh bonus demografi, yakni tingginya populasi angkatan kerja usia muda, maka perusahaan perlu mempertimbangkan hal ini.

The 'Greta Effect' on Travel [Megatrends on Tourism] - Greta Thunberg  Climate Activism - YouTube

Konferensi ini juga menyoroti pentingnya membangun taksonomi bahasa umum yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai isu dalam krisis iklim ini, sehingga setiap orang akan menggunakan bahasa yang sama untuk mendapatkan dukungan dari para pemimpin perusahaan, anggota parlemen, dan para pemimpin politik. Para pemangku kepentingan perlu memahami apa manfaat, bahaya dan kerugiannya jika krisis iklim ini tidak segera diatasi. Agar orang-orang tahu apa yang harus dilakukan, mereka harus menyadari setiap aspek dari masalah ini. Kesimpulannya, pengetahuan sudah tersedia, tetapi perlu dirangkai dalam bahasa sederhana melalui ‘perangkat literasi keberlanjutan’.

Prof. Charles Fine (PhD Stanford), CEO, President & Dean of Asia School of Business mengatakan, “Ada komponen etika yang signifikan dalam sustainability. Salah satu misi ASB adalah mengembangkan pemimpin yang transformatif, berprinsip serta berani mengakui keterbatasannya, sebagai sebuah komponen penting. Selama beberapa minggu terakhir, kita telah melihat berbagai tuduhan tentang para pemimpin yang melakukan ‘greenwashing’. “Kita harus bisa menyampaikan secara langsung dan transparan tentang tantangan dan masalah yang ada, serta memecahkannya. Ini tidak mudah dilakukan, tetapi ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Kami berharap dapat berkontribusi untuk “literasi keberlanjutan” yang lebih besar melalui program pendidikan dan penelitian untuk membekali dan meningkatkan keterampilan para pemimpin,” ujarnya.