Mari Mengulik Sejarah Kebaya [gunungkidul]

Mari Mengulik Sejarah Kebaya

PinkKorset.com – Mari menelusuri sejarah kebaya berdasarkan penelitian Judi Achjadi, kurator Museum Tekstil Jakarta.

Menurut buku yang ditulis Judi Achjadi, ‘Perjalanan Kebaya’, definisi kebaya adalah jaket lengan panjang setinggi pinggul yang dikenakan perempuan Indonesia dengan kain panjang ataupun sarung buatan lokal.

Sejarah munculnya kebaya cukup panjang. Awalnya, kebaya berupa mantel panjang yang dipakai perempuan berdarah campuran di Indonesia. Kemudian mereka memeluk Kristen dan menikah dengan laki-laki asing.

Berdasarkan tulisan Poensen pada 1876, busana Jawa menggambarkan kulambi kabaya sebagai jaket panjang, kabaai, yang dipotong menyerupai kabaai perempuan Eropa di Hindia, tanpa kancing atau pengikat di bagian depan dan mencapai lutut atau di bawahnya.

Tulisan ini mengindikasikan bahwa kebaya meminjam istilah Persia kabaai.

Jauh sebelumnya, dugaan lahirnya kebaya juga terkuak dari lukisan karya Jan Brandes, 1780. Lukisan ini menggambarkan seorang perempuan muda memakai mantel panjang dan longgar dengan lengan panjang (cabie).

Pelukis asal Belanda ini tinggal di Indonesia sejak 1778-1785 sehingga lukisannya dianggap akurat. Menurut Judi, di akhir abad ke-18 terdapat dua pakaian yakni versi baju tipis yang berkembang menjadi kebaya dan versi baju katun motif bunga yang dikenal sebagai baju panjang.

Baju panjang tak banyak berubah hingga 1950 setelah perempuan di Indonesia mulai menerima pakaian ketat.

Lain halnya cabie, cikal bakal kebaya saat ini, yang mengalami transformasi besar-besaran pada pertengahan 1800-an ketika saat istri-istri pejabat kolonial dan pengusaha Eropa berbondong-bondong tiba di Nusantara.

Melalui tulisan Dorine Bronkhorst berjudul ‘Tropen-echt: Indische en Europese Kleding di Nederlands-Indie’ pada 1996, perempuan Belanda yang menuju Hindia membeli pakaian tropis (kebaya, kutang dan sarung batik) dari perusahaan di Belanda.

Pada akhir abad ke-19, kebaya “Hindia” berevolusi menjadi berwarna putih, longgar, setinggi pinggul dengan bagian depan terbuka hingga ke bawah dan dikelim bagian tepinya.

“Masyarakat Eropa melambangkan musim panas dengan warna putih,” ujar Judi Achjadi, Kurator Museum Tekstil Jakarta saat dijumpai acara Bincang-Bincang Kebaya Encim di Museum Tekstil Jakarta, beberapa waktu lalu.

Undang-undang kolonial 1872 mengharuskan masyarakat berbusana sesuai etnisnya. Masyarakat campuran yang mendiami mengenakan kebaya. Perempuan Tionghoa murni murni berbusana Tiongkok.

Perempuan peranakan Tionghoa mengenakan sarung dan baju panjang, sedangkan perempuan Eropa murni memakai kebaya putih dan sarung batik.

“Saat istirahat di rumah, perempuan Belanda memakai kebaya pendek putih. Mereka mengaggap kebaya sebagai pakaian dalam. Kalau malam hari mereka mengenakan pakaian Eropa,” kata Judi Achjadi pada kesempatan sama.

Namun perempuan-perempuan Eropa di Indonesia meninggalkan kebiasaan memakai kebaya setelah masyarakat peranakan Tionghoa mengenakannya. Pada 1950-an, terjadi masa persatuan saat kebaya dipadukan dengan kain panjang batik Jawa atau sarung.