Manfaat Ajarkan Anak Berbelanja

PinkKorset.com, Jakarta – Selama ini para orangtua tidak mengajarkan anak berbelanja, karena khawatir dapat membuat buah hati mereka konsumtif.

Padahal, tidak selamanya berbelanja berkonotasi negatif. Mengajarkan anak berbelanja, bukan berarti menghambur-hamburkan uang. Dibalik itu ada nilai-nilai positif bagi anak.

Perencana Keuangan Ligwina Hananto mengatakan, orangtua seringkali mengingatkan anak untuk menabung. Namun, lupa mengajarkan tentang berbelanja. Padahal dibalik kegiatan belanja, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik anak.

“Berbelanja bukan sesuatu yang buruk. Tapi mengajarkan anak mempraktikkan bagaimana dia mengambil keputusan,” katanya kepada Pinkkorset di Jakarta, Kamis (12/5/2016).

Wina, begitu akrab disapa, menjelaskan, dilihat dari sisi psikologi, kemampuan mengambil keputusan adalah pelajaran luar biasa pada anak. Hal ini akan berguna bagi pengendalian diri anak saat ia dewasa nanti. Misalnya ketika dewasa, si anak bisa menolak ajakan merokok, seks bebas dan narkoba.

Lalu, bagaimana anak mampu belajar mengambil keputusan dari berbelanja?

Perempuan yang menjabat Founder & CEO QM Financial ini menjelaskan, anak perlu dikenalkan pengelolaan uang dengan konsep BBM (Berbagi, Berbelanja dan Menabung). Bila anak diajarkan berbelanja saja ,tentu dia tidak bisa menabung. Sedangkan bila menabung saja, tidak ada sisa uang karena dia tidak tahu belanja.

“Sebetulnya yang perlu diajarkan bukan menabung dulu, tapi cara belanja. Kalau dia tahu cara belanja maka ia tahu uang ini dipakai untuk apa,” ujarnya.

Konsep BBM dapat diaplikasikan melalui pemberian uang saku. Wina mencontohkan, anak diberikan uang saku Rp10.000 untuk sehari. Ketika anak pulang dari sekolah, dia bisa bilang ke ibunya, Rp5.000 digunakan untuk makan (belanja), Rp3.000 untuk amal (berbagi) dan Rp2.000 minta disimpan ibunya (tabung).

[financial]

Dengan konsep ini, ketika anak menerima uang lebaran (THR) maupun ang pao tidak lagi senang dan menghambur-hamburkan uang. Mereka justru mampu menabung untuk membeli sesuatu yang diinginkan. Sehingga memiliki tujuan dan kemampuan mengendalikan serta mengelola keuangan.

Pembelajaran keuangan pada anak bukan sekedar menabung tetapi mengajarkan mereka memilah-milah. “Sehingga urusan belanja bukan urusan mahal-murah. Tetapi memilih mana yang lebih bagus buat saya,” katanya lagi.

Wina mencontohkan, belanja barang mahal dipilih karena memang memanfaatkan nilai tahan lama. Tetapi bukan berarti memuaskan semua kebutuhan dengan barang mahal. Barang murah dapat dibeli bila tidak memerlukan daya awet.

“Kalau saya beli baju di bawah Rp100 ribu masih bisa, tapi sepatu dan tas tidak. Atau saat travelling pilih pesawat murah karena perjalanan singkat, tapi penginapan pilih yang mahal untuk istirahat,” ucapnya.

Sayangnya budaya pengasuhan orangtua di Indonesia dapat menghambat proses pembelajaran ini. “Seringkali apa-apa diambil alih orangtua atau dilakukan pembantu. Sehingga anak tidak dikondisikan mampu mengambil keputusan,” pungkasnya.