Krisis Iklim Ancam Ekonomi Indonesia

PinkKorset.com – Perubahan iklim merupakan ancaman global yang dampaknya akan terasa pada semua sektor kehidupan, termasuk perekonomian.

Kenaikan permukaan laut, banjir pesisir (rob), longsor, badai, kekeringan dan gelombang panas ekstrem membuktikan bahwa krisis iklim itu nyata. Bukan hanya di Indonesia, namun juga belahan dunia.

Berdasarkan laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC), bumi akan melampaui batas aman kenaikan rata-rata suhu lebih cepat dari perkiraan. Pembangunan yang massif di semua negara, dengan mobilitas semakin tinggi dan penggunaan energi semakin besar, akan menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam. Seluruh kegiatan manusia juga menghasilkan emisi karbon yang akan mengancam dunia bila terjadi kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat.

Seiring kenaikan suhu bumi, wilayah pertanian dan perkebunan akan terkena imbasnya secara langsung. “Hasil panen bisa turun 2% tiap 10 tahun hingga berabad-abad ke depan. Sektor perikanan juga akan terdampak dengan perubahan keseimbangan kadar kimia di samudera,” tulis IPCC.

Di Indonesia, sektor pertanian (termasuk perkebunan, perikanan dan kehutanan) menjadi mata pencaharian penting dan penyumbang devisa utama nasional, mulai dari minyak sawit, karet, kokoa, hingga rumput laut.

Efek perubahan iklim juga dirasakan sektor keuangan. Kerusakan sektor pertanian dan perkebunan memicu badai kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Selain berpotensi memukul perusahaan asuransi.

Menurut analisis terbaru McKinsey, kerugian terbesar yang disebabkan perubahan iklim diperkirakan mencapai USD 4,7 triliun dalam PDB Asia. Sementara di Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.

Lalu, apa yang akan kita lakukan?

Saat Asia bersiap menghadapi ‘next normal’ bersamaan dengan Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapura yang mengumumkan janji untuk mencapai carbon neutral dalam beberapa dekade mendatang, para pemimpin bisnis, pembuat kebijakan, pengusaha, dan individu diundang untuk bergabung dalam diskusi, yang membicarakan tantangan dan solusi yang didukung ilmu pengetahuan secara ekonomi dan teknologi untuk beradaptasi dan menghadapi ekonomi perubahan iklim Asia pada konferensi Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA) 2021 secara virtual pada 15-18 November 2021.

“Alih-alih membiarkan ancaman perubahan iklim dengan dalih ‘wait and see’, di mana individu mengandalkan bisnis, perusahaan kecil bergantung pada konglomerat besar untuk memimpin, dan pemerintah menunjuk pemerintah lain untuk menerapkan kebijakan, LESA 2021 ingin menyebarkan pesan bahwa setiap individu dan entity memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam menggerakkan kita ke arah yang benar sebelum konsekuensinya tidak dapat diubah lagi” ujar Prof. Charles H. Fine, (Ph.D. Stanford) CEO, President, dan Dekan di Asia School of Business.

“Asia memiliki peluang besar untuk memetakan langkah baru selanjutnya dalam mengelola risiko sosial,  ekonomi dan iklim. Namun untuk memberdayakan kawasan baru, dibutuhkan ide-ide segar, pendekatan, keberanian, kelincahan (agility) dan pola pikir yang strategis” tutupnya.