Revolusi Shale Gas, Harga Komoditas RI Sulit Naik Foto: google

Revolusi Shale Gas, Harga Komoditas RI Sulit Naik

PinkKorset.com, Jakarta – Harga komoditas utama ekspor Indonesia belum akan naik pada tahun ini. Pemicunya terutama revolusi shale gas di AS.

Managing Director and Senior Economist Global Research Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan mengatakan, harga komoditas ekspor utama Indonesia belum akan naik dalam 12 hingga 18 bulan ke depan.

Hal ini karena adanya revolusi shale gas di Amerika Serikat, yang membuat negara tersebut tidak lagi membutuhkan energi impor. Adapun Indonesia selama ini menjadi pengekspor energi terbesar AS.

“Dengan revolusi shale gas itu, Amerika menjadi negara mandiri dalam sumber daya energi, dan tidak lagi ketergantungan dari luar negeri,”ujarnya di Jakarta baru-baru ini.

Shale gas adalah gas alam non konvensional. Jika gas alam konvensional biasanya ditemukan di cekungan lapisan bumi pada kedalaman ±800m atau lebih. Maka shale gas terdapat di lapisan bebatuan (shale formation) di kedalaman lebih dari 1500m. Lapisan tersebut kaya akan material organic, oleh karenanya dapat menjadi sumber energi.

Menurutnya, kondisi ini menyebabkan defisit neraca perdagangan masih akan terus menghantui neraca transaksi berjalan, yang beberapa tahun terakhir terus meningkat. Pemicu defisit ini adalah kinerja ekspor yang tidak bisa lagi diandalkan seiring turunnya harga komoditas ekspor.

“Untuk meningkatkan ekspor susah, karena 60 persen dari ekspor Indonesia adalah komoditas, dan nyatanya harga komoditas belum membaik, bahkan hingga 18 bulan ke depan belum terlihat membaik,” ujarnya.

Ichsan menambahkan, jika ekspor tidak bisa didongkrak, otomatis yang harus diturunkan adalah impornya, dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Caranya melalui kontraksi fiskal atau pengetatan kebijakan moneter. Mengingat 2014 adalah tahun pemilu, maka pemerintah pun hampir dipastikan sulit melakukan kontraksi fiskal, seperti menaikkan harga BBM dan menaikkan pajak. Bank Indonesia lah yang kemudian menanggung beban untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan pengetatan moneter, menaikkan BI Rate, loan to value, dan giro wajib minimum.