Waspadai Bully Pada Anak [hifpost]

Waspadai Bully Pada Anak

PinkKorset.com, Jakarta – Stres tinggi pada anak menyebabkan verbal bullying. Perkuat konsep diri melalui pendekatan keluarga dan lingkungan adalah solusinya.

Mengolok-olok nama orang, menyebutnya dengan nama bukan sebenarnya (name calling) termasuk ke dalam verbal bullying. Tindakan ini dapat membuat kondisi korban tertekan sehingga merasa rendah diri atau minder.

Verbal bullying tidak mengenal kelas sosial-ekonomi. Tindakan ini umumnya mulai terjadi sejak anak-anak. Bila terjadi di lingkungan sekolah, korban verbal bullying merasa kesal dan tidak ingin bersekolah.

Psikolog Liza Marielly Djaprie mengatakan, hampir 3,5 juta anak Indonesia mengalami bully. Kasus ini seperti benang kusut. Anak-anak, pelaku bully tak bisa pula dihukum. Kemungkinan besar, mereka juga korban bully di rumah atau stres kondisi sekolah.

“Pelaku juga korban dan punya masalah psikologis. Menghukumnya berarti membuat dia sakit menjadi tambah sakit,” katanya katanya saat Kampanye Rayakan Namamu Bersama Coca-Cola dan Komunitas SudahDong di Jakarta, Rabu (13/1/2016).

Liza menambahkan, tingginya praktik bully dipicu tingkat stres anak. Banyak anak stres karena tuntutan sekolah, pendidikan, rumah dan pendidikan non-formal. Sementara tingkat kompetisi semakin tinggi dan mereka tidak punya waktu bermain.

“Padahal, anak belajar saat bermain. Mereka belajar tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Ini proses pembentukan emosional,” katanya lagi.

Untuk mencegah verbal bullying, diperlukan peran orang tua untuk berkomunikasi dengan anak. Contohnya, kata Liza, orang tua sering mengobrol dengan anak. Tanyakan tentang kondisi sekolah, bertemu dengan siapa dan apa yang terjadi.

“Ini upaya kita (orang tua) mengetahui kondisi anak sedini mungkin,” ucapnya.

Selain itu, tanamkan konsep diri kuat pada anak. Ini menunjukan bagaimana memandang potensi atau bakat untuk membangkitkan kepercayaan diri. Apakah Anda memiliki potensi sesuatu, berharga di dalam lingkungan dan mampukah dihargai orang lain.

“Ini terbentuk sejak kecil. Bagaimana orang tua menanamkan yang baik-baik,” tutupnya.

Sementara sisi sekolah juga turut berperan aktif. Liza mengutarakan pentingnya sekolah mengganti masa ospek dengan pendidikan kcerdasan emosional.

Sedangkan upaya rehabilitatif korban bully dibutuhkan peran aktif seluruh pihak. Tindakan ini termasuk mendatangkan terapis dan orang yang terlibat. Baik pelaku, maupun guru atau mentor.